Makalah Filologi (Kodikologi) UIN Sunan Gunung Djati Bandung
KODIKOLOGI
Makalah Ini
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Tugas Trestuktur dari Dosen Filologi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Disusun oleh:
Diki
Jafar Sidik 1135020023
Achmad
N Fudholi 1135020005
Ajat
Gunawan 1135020013
Alfi
Mufidah 1135020017
Desi Elis S 1135020034
Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung
Djati
Bandung
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Kodikologi
Setelah
dikemukakan sebelumnya oleh para pemakalah, bahwa filologi merupakan salah satu
cabang ilmu yang menjadikan naskah
(manuscrift) sebagai objek kajiannya. Akan tetapi, telaah filologis
sesungguhnya hanya bisa menyentuh salah satu aspek saja yang terkandung atau
tercantum di dalam naskah, yaitu teksnya, karena itulah filologi disebut juga
tekstologi (ilmu yang menerang tentang teks suatu naskah). Padahal, selain
teks, ada banyak komponen-komponen lain yang patut diperhatikan di dalam sebuah
naskah yakni menyangkut hal-hal yang berkaitan pada fisik naskahnya, seperti
alas naskah yang digunakan, sejarah dan asal-usul naskah naskahnya, cap kertas
(watermark), kolofon, dan aksara.
Kata kodikologi berasal
dari bahasa latin yaitu ‘codex’ (pl.codies), yang dalam konteks pernaskahan
nusantara diterjemahkan menjadi naskah[1].
Dengan demikian, kodikologi berarti ilmu tentang pernaskahan yang menyangkut
bahan tulisan tangan ditinjau dari berbagai aspeknya, antara lain bahan, umur,
tempat penulisan dan perkiraan penulisan naskah. Setelah seni cetak ditemukan,
kodeks berubah arti menjadi buku tulis. Kodeks pada hakikatnya berbeda dengan
naskah.
Kodeks adalah buku yang
tersedia untuk umum yang hampir selalu di dahului oleh naskah. Kodeks mempunyai
nilai dan fungsi yang sama dengan buku tercetak sekarang.
Dengan sama dapat di gambarkan:
Konsep à teks bersih (naskah) à kodeks
Sedangkan, setelah ditemukan seni cetak
Konsep à teks bersih (kopi) àcetakan
Teks bersih ditulis pengarang disebut
otografi sedangkan, salinan bersih oleh orang-orang lain apografi.[2]
Sedangkan Naskah adalah semua dokumen tertulis
yang ditulis tangan, dibedakan dari dokumen cetakan atau perbanyakannya dengan
cara lain. Kata ‘naskah’ diambil dari bahasa Arab nuskhatun yang berarti sebuah
potongan kertas.
Naskah
diartikan sebagai karangan dengan tulisan tangan yang menyimpan berbagai
ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Baroroh,
1994: 55). Tempat di mana naskah-naskah atau manuskrip disalin oleh para juru
tulis disebut skriptorium atau skriptoria (bentuk jamak). Sebelum ditemukan
mesin cetak, tempat di mana buku-buku diproduksi juga disebut dengan
scriptorium.
2.2. Sejarah
Kodikologi
SWR
Mulyadi (1994: 2-3) telah menjelaskan bahwa istilah kodikologi (codicologie)
pertama kali diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain, saat ia
memberikan kuliah kuliah di Ecole
Normale Superieure, Paris pada Februari 1944. Istilah codicologie semakin
tersosialisasi ketika ceramah Dain tersebut diterbitkan pada tahun 1949 menjadi
buku yang berjudul Les Manuscrits[3].
Dalam karyanya, Dain memaparkan dan menegaskan bahwa kodikologi adalah
merupakan ilmu yang mempelajari naskah, dan bukan mempelajari apa yang tertera
maupun yang tertulis di dalam sebuah naskah tersebut. Maka dari itu, kajian
kodikologi jauh lebih luas dari teks, yaitu menyangkut scriptorium
naskah, sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, perdagangan naskah,
katalogisasi naskah, fungsi sosial naskah, dan segal hal lain yang terkait
dengan fisik naskah tersebut sebagai sebuah artefak.
Mungkin ada baiknya mengetahui bahwa
sebelum abad ke-8 masa sebelumnya bangsa Romawi mengetahui cara membuat codex,
sebuah dokumen lazimnya ditulis dalam bentuk gulungan (scroll) dari
bahan papyrus[4].
Istliah nama codex sendiri berguna untuk membedakan dokumen gulungan
dengan bentuk baru yang umumnya terdiri dari beberapa halaman, dijilid, serta
dilapisi dengan sebuah sampul.
Transformasi
naskah gulungan menjadi codex tidak dapat dilepaskan dari penemuan
teknologi pembuatan kertas di China sekitar abad ke-2 M (Bloom 2001: 1). Karena
itulah penemuan tersebut dimasukkan ke dalam salah satu dari empat penemuan
besar bangsa China kuno selain kompas, bubuk mesiu (gunpowder), dan
percetakan.
2.3.
Cakupan Kajian Kodikologi
Apa yang sudah
dipaparkan sebelumnya itu memang benar, bahwa cakupan kodikologi itu sangatlah
jauh lebih luas dibandingkan teks. Cakupan kodikologi diantaranya adalah:
a)
Sejarah Naskah
Suatu naskah kuno dapat
diteliti dan dapat dicari dari segi sejarahnya, kapan dibuatnya, keadaan
masyarakat pada saat itu, dan lain-lain. Hal yang demikian dapat dilakukan
dengan cara memperkirakan usia naskah.
Naskah
nusantara kebanyakan tidak menyebutkan waktu penulisan atau penyalinan. Dengan
demikian, umur naskah hanya dapat ditelusuri berdasarkan keterangan dari dalam
teks dan keterangan luar teks. Pada
naskah yang tidak dapat ditentukan secara pasti biasanya dituliskan tua atau
relatif tua dan muda atau relatif muda. Penentuan umur naskah dapat dilakukan
dengan beberapa cara:
Ø Cara pertama, dengan mencari informasi pada
kolofon. Kolofon adalah keterangan pada akhir naskah (dapat berupa nama
pengarang, pemilik atau penyalin naskah, serta tempat dan waktu penyalinan). Kata
kolofon (Bhs. Inggris colophon) berasal dari bahasa Yunani kolophon ‘puncak’
(summit) atau ‘penyelesaian akhir’ (finishing touch). Oleh sebab itu, terutama
di Eropa, kolofon berarti ‘sebuah inskripsi pada akhir sebuah buku atau naskah,
terutama dipakai pada abad ke-15 dan 16, yang mengemukakan atau menjelaskan
judul/subjek/karya/karangan, pengarang-nya, nama pencetak atau penerbit,
penanggalan, dan tempat penerbitan’. Pengertian tersebut diterapkan juga untuk
naskah-naskah nusantara dengan sedikit perbedaan karena di nusantara pada waktu
itu belum mengenal budaya cetak. Pengertian kolofon di nusantara menjadi
‘bagian teks dalam suatu naskah, biasanya pada bagian akhir (karena ada pula
kolofon yang ditulis pada awal teks) yang menyebutkan penanggalan, yaitu waktu
naskah itu ditulis atau disalin; nama pengarang atau penyalin; tempat naskah
itu dikarang atau disalin’.
Contoh-contoh
Kolofon:
·
Nalika kula
ngagurit, bulan Haji tanggal lima, poe, Saptu pasosore, hijrah Kangjeng
Rasulullah, nu mashur dina almenak, sarebu jeung tilu ratus, punjul tilu di
taun Dal. (Sajarah Sukapura: XXI, 36).
·
Maka kemudian
daripada itu tamatlah hikayat daripada ceritera Raden Andaken Penurat namanya,
pada sebelas hari bulan Desember, pada malam Isnain jam pukul dua. Kepada waktu
itulah habis tersurat kepada tahun 1825. (Hikayat
Andaken Penurat: 146).
·
Tamatlah sudah
syair ini kepada tarikh Sanat 1274 al-Dal akhir pada empat hari bulan Safar
pada hari Kamis dewasa itulah kehabisan tulis ini oleh seorang fakir al-hakir
ismuhu Muhammad Hasan yang tinggal di dalam negeri Bima Kampung Melayu
perana’an Mengkasar adanya. Syahdan yang menyuruhnya Tuan Misor yang tinggal di
dalam Negeri Bima Kampung Benteng adanya. (Syair
Kerajaan Bima: 28r)
Ø Cara kedua yaitu berdasarkan bentuk atau macam
tulisan naskah. Penentuan cara ini dilakukan bila tidak terdapat kolofon.
Penentuan dengan cara ini merupakan pendekatan secara paleografis, yang
menuntut keahlian dan pengetahuan yang mendalam tentang paleografi. Pendekatan
ini bertitik tolak pada kenyataan bahwa satu bentuk huruf mengalami perubahan
dan perkembangan sepanjang sejarahnya.
Ø Cara ketiga berdasarkan bahasa naskah. Cara ini
dilakukan dengan dasar bahwa bahasa mengalami perubahan sesuai perubahan dan dinamika
masyarakat pemakainya.
Ø Cara keempat yaitu berdasarkan isi naskah. Isi
naskah yang dapat dijadikan pijakan penentuan umur naskah yaitu mengenai tokoh
atau peristiwa. Tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa yang disebut dalam teks
mungkin memberi petunjuk pada waktu kapan teks itu ditulis. Setidak-tidaknya
teks lebih kemudian daripada tokoh atau peristiwa yang disebutkan dalam teks.
Ø Cara kelima yaitu berdasarkan bahan naskah.
Bahan naskah dapat membantu menentukan umur naskah karena dari bahannya orang dapat
menentukan kapan kira-kira naskah tersebut ditulis. Misalnya naskah yang
bahannya lontar kemungkinan besar lebih tua daripada naskah yang ditulis dengan
kertas.
Ø Cara keenam yaitu berdasarkan cap air
(watermark). Mengenai hal ini lihatlah pada uraian tentang watermark.
Ø Cara ketujuh yaitu berdasarkan catatan di dalam
naskah. Catatan yang ada dalam naskah dapat membantu menentukan perkiraan umur
naskah. Catatan itu mungkin terletak pada akhir teks, mungkin juga awal teks,
bahkan pada sampun naskah.
Ø Cara kedelapan yaitu berdasarkan asal mula
pemilikan naskah. Asal mula naskah yang disimpan di museum atau perpustakaan
biasanya dicatat asal naskah. Catatan inilah yang membantu memperkirakan umur
teks.
b)
Bahan Pembuatan
Naskah
Ø
Bambu
Bambu sebagai alas tulis pada
umumnya dipakai di daerah Pulau Sumatera, misalnya Batak. Di Batak dikenal
penanggalan Batak yang disebut porhalaan dan bambu peramal yang disebut tondung
sahala.
Porhalaan terbuat dari ruasan bambu
yang diukir dengan garis melintang dan membujur berbentuk petak segi empat.
Tiga puluh garis membujur untuk hari dalam sebulan dan dua belas garis
melintang untuk bulan dalam setahun. Ukuran porhalaan berbeda-beda, yang paling
kecil kira-kira 10 cm panjangnya dan yang paling besar mencapai 100 cm. Porhalaan
(hala dari bahasa Sansekerta kala
‘waktu’) merupakan penanggalan untuk menentukan hari baik dan hari buruk.
Tondung sahala ialah alat untuk
meramal atau merenungkan sahala (pembawaan) seseorang. Alat ini diyakini
membantu sang datu meramalkan masa depan seseorang. Tondung sahala terdiri dari
kira-kira empat puluh buah bilah bambu yang memuat tulisan-tulisan, terikat
jadi satu. Bahan tulis dari bambu ini tidak membudaya di Pulau Jawa.
Ø
Lontar
Bahan tulis lontar ini digunakan di
Jawa pada periode pra-Islam. Bahan ini dibuat dari berbagai macam daum palma,
khususnya palma lonta (Borassus flabellifer). Bahan ini dipakai terutama di
daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Di Jawa Barat selain lontar juga
dipakai nipah (Nipa fruticans), yaitu sejenis palma yang tumbuh di rawa-rawa.
Cara menulis pada lembar lontar yaitu dengan menggores dengan pisau khusus lalu
diberi bahan penghitam goresan.
Pada masa ini
kadang-kadang juga digunakan tinta untuk menulis. Tinta ini digunakan untuk
menulis pada lontar jenis sritala yang daunnya tipis, lentur, dan menyerap
tinta.
Berkaitan dengan bahan tulis ini,
Zoetmulder (1983:154) berpendapat bahwa sebelum pemakaian daun lontar, para
kawi sudah memakai karas (batu tulis, sabak) untuk menulis. Menurut Robson
(1978) kemungkinan karas ini digunakan
oleh para kawi sebagai catatan sementara pada waktu mengembara mencari ilham
sebelum ditulis di atas lontar. Di Bali tradisi menulis di atas daun lontar
masih berlanjut hingga kini.
Ø
Deluang
Dluwang (deluang atau jeluang)
adalah kertas Jawa yang dibuat dari kulit kayu. Bahan ini dibuat dari kulit
kayu (di Jawa Barat biasanya pohon saeh) dengan cara dipukul-pukul supaya
menjadi bahan lembaran. Bahan ini digunakan sebagai bahan pakaian di kepulauan
Samudera Pasifik dan dikenal dengan nama tapa. Pakaian yang dibuat dari bahan
ini dianggap keramat.
Umumnya pakaian yang dibuat dari
bahan ini tidak digunakan sebagai pakaian sehari-hari, tetapi digunakan dalam
ruang lingkup keagamaan. Lembaran dluwang yang digarap secara baik dapat dihiasi
dengan gambar-gambar dan dapat diberi warna. Sekalipun naskah-naskah dluwang di
Jawa relatif sedikit apabila dibandingkan dengan naskah-naskah lontar, namun
hal ini merupakan bukti bahwa dluwang pernah digunakan sebagai alas menulis.
Di Batak lempengan kulit kayu tidak
dibuat seperti dluwang di Jawa tetapi dipotong panjang-panjang untuk menulis.
Naskah seperti ini disebut pustaha laklak (laklak artinya ‘kulit kayu’). Naskah
ini dilipat seperti wiru diapit dua lempengan kayu yang diikat dengan sepotong tali.
Ukuran nakah ini bermacam-macam, dari 3 X 4 cm sampai 30 X 40 cm, dan jika
direntangkan seluruhnya dapat mencapai panjang 5 meter.
Ø
Kertas Eropa
Sejak abad ke-17 pemakaian kertas
Eropa atau kertas impor, di samping kertas lokal atau daluwang, semakin meningkat.
Daluwang tidak dapat diproduksi secara masal dalam jumlah banyak. Kualitas dan
warna dluwang pun tidak sama karena kulit yang digunakan berasal dari pohon
yang berbeda. Dengan demikian, persediaan kertas impor sangat diperlukan.
Mungkin pada abad ke-17 dan 18 diimpor kertas (pembungkus) dari Cina yang
disebut dengan kertas Arab dan dijual di Jawa. Walaupun demikian, pengimpor
kertas yang utama adalah VOC, dan kertas yang didatangkan dari Belanda terkenal
dipakai di kerajaan-kerajaan di Jawa. Lembar-lembar kertas biasanya dibentuk
kuras.
Kuras
berasal dari bahasa Belanda katern, bahasa Inggeris menggunakan istilah quire.
Katern berasal dari kata quaternis artinya dalam satu katern terdiri atas empat
lembar kertas. Kuras ini pada perkembangan selanjutnya tidak lagi dibatasi
empat lembar.
Ø
Parchment (perkamen)
Perkamen adalah alas naskah yang
terbuat dari kulit binatang, seperti kulit kambing.
Ø
Reed Pen (Kalamoi)
Reed pen adalah alat tulis
(pena) kuno, biasanya terbuat dari bambu yang diruncingkan
Ø
Quill
Quill adalah
alat tulis (pena) kuno, biasanya terbuat dari ekor/sayap burung atau ekor/sayap
angsa.
Ø
Tinta
Tinta adalah bahan berwarna yang
mengandung pigmen warna yang digunakan untuk mewarnai suatu permukaan. Tinta
bersama pena dan pensil digunakan untuk menulis dan menggambar. Tinta merupakan
sebuah media yang sangat kompleks, berisikan pelarut, pigmen, celupan, resin
dan pelumas, sollubilizer (semacam senyawa yang membentuk ion-ion polimer polar
dengan resin tahan air)[5].
Pada 3000 Sebelum Masehi atau kurang
lebih (5000 tahun yang lalu), sebuah tinta untuk menghitamkan permukaan yang
timbul dari sebuah gambar dan tulisan-tulisan yang terpahat di permukaan batu
dikembangkan oleh china. Awal mula tinta ini merupakan campuran antara jelaga
dari asap kayu cemara, lampu minyak dan jelatin dari kulit binatang serta darah
yang dibekukan.
Tinta yang awal digunakan di India
pada akhir abad keempat SM, disebut masi, yaitu campuran dari beberapa bahan
kimia. Dokumen India yang tertulis dengan tinta pada Karotshi (sejenis naskah
kuno India) telah tergali di Turkistan China (sekarang Xinjiang). Praktek
penulisan dengan tinta dengan ujung yang lancip telah umum digunakan di India
bagian selatan. Beberapa jain sutra (naskah religi Indian kuno) India disusun
dengan menggunakan tinta. Di India, karbon hitam yang merupakan asal
produksinya tinta di India dihasilkan dari pembakaran tulang, aspal, pitch, dan
bahan baku tinta lainnya.
Pada masa Romawi kuno,
antramentrum-lah yang dipergunakan, Di
sebuah artikel pada Chirtisn science Monitor, Sharon J. Hutington menjelaskan
sejarah tinta lainnya: “Sekitar 1.600 tahun lalu, resep tinta yang terkenal
dibuat. Resep itu digunakan selama beberapa abad. ‘garam” besi, seperti asam
fero (terbuat dari beri yang dilumuri dengan asam sulfur), dicampur dengan
tannin dari galnut (mereka tumbuh di pepohonan) dan sebuah penebal. Ketika
pertama kali dicelupkan pada kertas, tinta ini akan berwarna hitam
kebiru-biruan. Lama-kelamaan warna dari tinta ini akan menjadi coklat redup.
c)
Tempat
Penyimpanan Naskah (Scriptorium)
Di nusantara, daerah-daerah tempat
menyimpan naskah banyak terdapat di daerah Sumatra: Aceh, Batak, Minangkabau,
Kerinci, Riau (termasuk Kep. Lingga dan Singkep), Siak, Palembang, Rejang,
Bengkulu, Pasemah, dan Lampung, Kalimantan: Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan
Kutai, Jawa: Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Brebes,
Gresik, Madura, dan daerah pegunungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur; Bali di:
seluruh wilayah, karena sampai sekarang masih diproduksi; Sulawesi di: Bugis,
Makasar, Buton, dan Kendari; Nusa Tenggara Barat di: Lombok, Sumbawa, Bima, dan
Dompo; Wilayah Indonesia Timur di: Ternate dan Maluku.
Sedangkan naskah Nusantara, paling
lengkap di Perpustakaan Nasional Jakarta, berjumlah 10.000 naskah, tertulis
dalam bahasa Aceh, Bali, Batak, Bugis, Makasar , Jawa kuna, Jawa Tengahan, Jawa
Baru, Madura, Melayu, Sunda, dan Ternate. Penghimpun naskah-naskah Nusantara
adalah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang didirikan KBG.
(halaman4.6), setelah Indonesia merdeka (1968) namanya diubah menjadi Museum
Pusat Kebudayaan Indonesia dan tahun 1975 menjadi Museum Nasional. Naskah
Nusantara disimpan selain di perpustakaan Nasional, juga disimpan di berbagai
tempat atau daerah.
Naskah Nusantara ditulis dalam
berbagai bahasa daerah, misalnya bahasa Aceh, Batak Toba dan lain-lain.
Misalnya di Kerinci naskah ditulis dengan bahasa daerah Rencong, namun berbeda
dengan bahasa rencong yang digunakan di Rejang dan Melayu Tengah. Di Rejang
digunakan huruf Ka-Ga-Nga.
Banyak naskah
kuno asal Indonesia bermukim di mancanegara sejak ratusan tahun lalu. Namun,
meskipun naskah-naskah tersebut bukan milik bangsanya, mereka sangat peduli
terhadap kekayaan milik bangsa lain.
Di Inggris, naskah-naskah kita
terinventarisasi secara teliti dalam sebuah katalogus susunan MC Ricklefs dan P
Voorhoeve. Menurut katalogus tersebut, naskah kita sudah bermukim di Inggris
sejak awal abad ke-17, bahkan mungkin sebelumnya. Naskah-naskah itu teridentifikasi
ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa
(kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makassar, Melayu, Minangkabau,
Nias,Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno).
Seluruh naskah yang ada di sana
berjumlah lebih dari 1.200. Semuanya tersimpan rapih pada 20-an perpustakaan
dan museum di beberapa kota di Inggris. Koleksi terbanyak berada di British
Library dan School of Oriental and African Studies. Di kedua tempat itulah,
para arkeolog, sejarawan, dan filolog dari seluruh dunia, termasuk dari
Indonesia, sering melakukan riset kepustakaan. Justru karena tersimpan rapih
dan terawat baik, peranannya jauh lebih besar daripada Perpustakaan Nasional RI
yang juga banyak mengoleksi naskah kuno.
Kehadiran Raffles di Indonesia pada
abad ke-18 diperkirakan mempermudah pihak Inggris untuk mendapatkan surat-surat
dari raja-raja di Indonesia. Surat-surat demikian menjadi koleksi unggulan
sampai sekarang, misalnya surat dari Sultan Pontianak kepada Raffles yang
dikirim dalam sampul terbuat dari kain sutra berwarna-warni. Ada pula surat
dari Raja Bali kepada seorang Gubernur Belanda di Semarang. Surat itu ditulis
di atas lempengan emas. Dari segi fisik, koleksi-koleksi itu begitu menarik dan
unik. Dari segi isi, surat-surat itu juga sarat informasi kesejarahan.
Sebagai negara penjajah, sudah
barang tentu koleksi naskah Indonesia lebih banyak berada di Belanda. Berbeda
dengan Inggris, naskah-naskah Indonesia di Belanda banyak yang tergolong
adikarya. Ini dapat dimaklumi karena Belanda jauh lebih lama menguasai negeri
kita daripada Inggris. Yang amat terkenal adalah naskah Nagarakretagama. Naskah
itu telah dikembalikan ke Indonesia pada 1970-an oleh Ratu Yuliana kepada
Presiden Suharto.
d)
Asal Naskah
Naskah yang
tersimpan di perpustakaan atau museum berasal dari:
·
hibah dari
pemilik naskah atau kolektor naskah
·
salinan dari
naskah induk milik pribadi atau milik perpustakaan/museum
·
pengembalian
atau penyerahan dari perpustakaan atau museum suatu negara.
Naskah yang
tersimpan pada pribadi mungkin diperoleh dari:
·
pemberian
seseorang
·
pembelian dari
seseorang
·
warisan, harta
pusaka, atau peninggalan dari leluhur
·
titipan dari
seseorang
·
salinan,
terjemahan, saduran dari naskah milik orang lain.
e)
Aspek Internal
Naskah dalam Kajian Kodikologi
Ø
Watermark (cap air)
Kertas yang didatangkan dari Eropa
ini kadang-kadang dapat membantu memberi petunjuk perkiraan umur naskah,
terutama pada naskah yang tidak mencantumkan waktu penulisan. Hal ini terjadi
karena adanya tanda atau lambang pabrik yang membuat kertas. Lambang itu
disebut cap air (watermark). Lambang ini membayang pada kertas apabila
direntangkan pada sinar atau cahaya.
Bentuk lambang watermark ini sering
kali diubah atau diganti. Dengan meneliti daftar watermark, seseorang dapat
mengetahui kapan kertas itu dibuat. Malahan di samping lambang itu sendiri
kadang-kadang tertera pula angka tahun pembuatannya. Kertas yang ber-watermark
ini dibawa dan didatangkan ke Indonesia oleh VOC dan selanjutnya oleh
pemerintah Hindia Belanda. Karena persediaan kertas pada waktu itu terbatas,
maka kertas-kertas yang baru saja datang tersebut segera habis terpakai, antara
lain untuk menyalin naskah. Dengan demikian, dapat dibuktikan bahwa
naskah-naskah yang ditulis pada kertas yang ber-watermark ini hanya dibuat selang
beberapa tahun sejak kertas itu dibuat. Jadi, umur naskah dapat diperkirakan
tidak jauh berbeda dari umur kertas.
Pada kertas
yang ber-watermark, biasanya tampak dua macam garis, yaitu garis tebal (chain
line) dan garis tipis (laid line). Pengukuran kertas untuk keperluan kodikologi
biasanya diterapkan pada kertas semacam ini. Bagian yang diukur adalah jarak
antara garis tebal pertama sampai keenam, jadi ada lima lajur di antaranya.
Buku yang memuat pedoman tentang watermark ini ialah Watermark in Paper in
Holland, England, France, etc., in the XVII and XVIII Centuries and their
Interconection ditulis oleh W. A. Churchiel terbit tahun 1935 dan Watermark
Mainly of the 17th and 18 th centuries ditulis oleh Edward Meawood terbit tahun
1950.
Ø Countermark (cap kertas
tandingan)
Countermark (cap kertas tandingan)
adalah cap kertas yang terdapat mengiringi cap kertas lain dalam sebuah kertas.
Biasanya, cap kertas tandingan berguna untuk membantu mengetahui identitas dan
tahun pembuatan kertas secara lebih spesifik.
Ø Illumination (iluminasi)
Awalnya, istilah ini digunakan hanya
untuk menyebut hiasan emas dalam sebuah naskah, akan tetapi pada
perkembangannya sekarang dipakai untuk menggambarkan semua bentuk hiasan atau
dekorasi dalam naskah. Iluminasi sering dijumpai dalam naskah Al-quran,
terutama bagian awal, tengah dan akhir.
Ø
Illustration (ilustrasi)
Visualisasi dalam teks yang
berbentuk gambar, foto, lukisan, atau lainnya, dan biasanya berfungsi untuk
menjelskan maksud kalimat tertentu dalam teks.
Ø
Colophon (kolofon)
Catatan penutup oleh penyalin naskah
dan terletak di akhir teks tapi tidak menjadi bagian dari teks itu sendiri.
Umumnya, kolofon mengandung informasi tentang identitas penyalin, waktu dan
tempat penyalinan, serta informasi lain kegiatan penyalinan. Kolofon hendaknya
dibedakan dengan eksplisit (explicit), yang akan dijelaskan di bawah. Kolofon
memegang perangan sangat penting dalam mengetahui usia dan identitas sebuah
naskah.
Ø
Explicit (eksplisit)
Rangkaian kata penutup yang menjadi
bagian dari teks dan ditulis sendiri oleh pengarang, lihat bedanya dengan colophon.
Ekslplisit sangat penting untuk mengetahui identitas teks, terutama ketika
halaman awal teksnya hilang.
2.4.
Analisis
Kodikologi
Selain
mencari asal usul dan kejelasan mengenai kapan, bagaimana, dan dari mana naskah
tersebut dihasilkan, analisis kodikologi juga berkembang juga pada ada atau
tidaknya illuminasi dan ilustrasi, jumlah kertas naskah, bentuk jilidannya,
sejauh mana kerusakan naskah (robek, terbakar, terpotong, rusak karena pernah
terkena cairan, dimakan binatang, berjamur, hancur atau patah, dll)–pendek kata
segala hal yang bisa diketahui mengenai naskah itu.
Hal
awal yang biasanya dilakukan dalam analisis kodikologi adalah menelusuri
sejarah naskah. Sejarah naskah biasanya didapat dari catatan-catatan di halaman
awal/ akhir yang ditulis oleh pemilik/ penyimpan naskah itu. Fisik naskahnya
yang dilihat adalah panjang, lebar, ketebalan naskah keseluruhan, dan jumlah
halaman yang digunakan untuk menulis, dan bahan atau media naskah[6].
Setelah
hal-hal di atas, kita masuk ke bagian dalam naskah, yaitu bagian naskah yang
ditulisi atau teks. Di sini kita akan melihat jenis huruf dan bahasa yang
digunakan, ada atau tidaknya rubrikasi atau penanda awal dan akhir bagian dalam
tulisan (biasanya berupa tulisan yang diwarnai berbeda dengan tulisan isi), ada
atau tidaknya catchword/kata pengait yang biasanya digunakan untuk menandai
halaman naskah, & bentuk tulisan naskah, apakah seperti penulisan cerita
pada umumnya, ataukah berbentuk kolom-kolom hingga dalam satu halaman bisa
terdapat dua atau lebih kolom tulisan (seperti syair). Selanjutnya kita mengecek
garis bantuan yang digunakan untuk mengatur tulisan, cap kertas (watermark dan
countermark) yang menandai perusahaan penghasil kertas alas, ada atau tidaknya
iluminasi (hiasan di pinggir naskah) dan ilustrasi (bagian yang berisikan
gambar keterangan yang menjelaskan sesuatu dalam naskah). Perlu dicatat
kerusakan-kerusakan yang ada.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Kodikologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang fisik sebuah naskah kuno. Tidak hanya itu, sejarah naskah,
sejarah koleksi naskah, scriptorium naskah, perdagangan naskah, bahan
pembuatan naskah, dan hal lain yang terkait dengan fisik naskah tersebut
sebagai sebuah artefak. Itu semua adalah kajian objek kodikologi.
Sejarah kodikologi berawal dari salah
seoang ahli bahasa Yunani yang bernama Alphonse Dain. Istilah codicologie
semakin tersosialisasi setelah ia melakukan ceramah tersebut pada tahun 1949
dan dicantumkan dalam sebuah buku yang bernama Les Manuscrits. Menurutnya,
kodikologi adalah sebuah ilmu yang membahas tentang fisik sebuah naskah kuno,
sejarah, dan latar belakang naskah itu terbuat serta tidak menjelaskan suatu
teks yang ada di dalam sebuah naskah.
Cakupan kajian kodikologi relatif
banyak, diantaranya adalah sejarah naskah, bahan-bahan pembuatan naskah, asal
naskah, tempat penyimpanan naskah dan lain sebagainya. Bahan-bahan pembuatan
naskah pun relatif banyak, diantaranya daun lontar, bambu, kertas eropa,
daluang dan lain-lain. Dan dalam mencari informasi sejarah di dalam sebuah
naskah dengan beberapa cara, dinataranya yaitu:
·
Dengan melihat
kolofon di dalam sebuah naskah
·
Watermark (cap
air)
·
Melihat pada
bahasa naskah yang digunakan
·
Dan lain-lain
Di dalam naskahnya pun ada sebagian
kajian kodikologi yang hampir bersandingan dengan teks-teks, yaitu diantaranya
ada watermark (cap air), ilustrasi, iluminasi, eksplisit, countermark, dan
kolofon. Adapun ilmu yang menerangkan tentang tek yaitu tekstologi. Maka dari
itu, kodikologi sangat berbeda tipis dengan kajian tekstologi.
Hal
awal yang biasanya dilakukan dalam analisis kodikologi adalah menelusuri
sejarah naskah. Sejarah naskah biasanya didapat dari catatan-catatan di halaman
awal/ akhir yang ditulis oleh pemilik/ penyimpan naskah itu. Fisik naskahnya
yang dilihat adalah panjang, lebar, ketebalan naskah keseluruhan, dan jumlah
halaman yang digunakan untuk menulis, dan bahan atau media naskah.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Fathurrahman, Oman. Filologi Indonesia Teori Dan Metode, Jakarta, Prenada Media Group. 2015
Ø Suryani, Elis NS. Filologi, Bogor,
Ghalia Indonesia. 2012
Ø
Wikipedia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Tinta, diakses pada pkl 12.51 WIB
Ø
Ferdika, kodikologi dalam kajian sastra
daerah, 2012. (Online). Sumber elektronik diakses dari
Ferdikasaja.blogspot.com. Diakses 26 februari 2015. Pkl. 12:30 WIB.
Ø
Lubis, Nabila. Naskah, Teks Dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta. Yayasan Media Alo Indonesia 2001.
[1] Oman
fathurrahman, Filologi Indonesia Teori Dan Metode, Jakarta, Prenada
Media Group, hlm. 114.
[2]Elis Suryani NS, Filologi, Bogor. Penerbit
Ghalia Indonesia, hlm 49
[5] Wikipedia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Tinta, diakses pada pkl 12.51 WIB
[6] Ferdika, kodikologi
dalam kajian sastra daerah, 2012. (Online). Sumber elektronik diakses dari
Ferdikasaja.blogspot.com. Diakses 26 februari 2015. Pkl. 12:30 WIB.
Comments
Post a Comment